Senin, 19 Maret 2012

MAPABA II 
10-11 Maret 2012


Rabu, 19 Oktober 2011

Mahasiswa, Manusia Pilihan

Mahasiswa dipilih sebagai pelaku karena memiliki potensi yang besar sebagai agen perubahan. Mahasiswa sebagai segmen pemuda yang tercerahkan Karena memiliki kemampuan intelektual. Mahasiswa sebagai orang yang memiliki kemampuan logis dalam berfikir sehingga dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Sebagai bagian dari pemuda, mahasiswa juga memiliki karakter positif lainnya, antara lain idealis dan energik.dealis berari (seharusnya) mahasiswa masih belum terkotori oleh kepentingan pribadi, juga belum terbebabni oleh beban sejarah atau beban posisi. Artinya mahasiswa masih bebas menempatkan diri pada posisi yang dia anggap terbaik, tanpa adanya resistansi yang lebih besar. Sedangkan energik berarti pemuda biasanya siap sedia melakukan “kewajiban” yang dibebankan oleh suatu ideology manakala dia telah meyakini kebenaran ideology itu.
Dengan potensi itu, wajar jika pada setiap zaman kemudian pemuda memegang peranan pening dalam perubahan kaumnya. Kita lihat kisah Ibrahim as sang pembaharu, atau kisah pemudi kahfi (Q.S. 18: 9-26) yang masing-masing sigap menerima kebenaran.
Ada ulama yang kemudian menyampaikan bahwa pemuda memiliki 3 peran:
1.Sebagai generai penerus (Q.S Ath Thur : 21); meneruskan nilai-nilai kebaikan yag ada pada suatu kaum.
2.Sebagai generasi pengganti (Q.S. Maidah : 54); menggantikan kaum yang memang sudah rusak dengan karakter mencintai dan dicintai Allah, lemah lembut kepada kaum mu’min, tegas kepada kaum kafir, dan tidak takut celaan orang yang mencela.
3.Sebagai generai pembahari (Q.S. Maryam : 42); memperbaiki dan memperbaharui kerusakan yang ada pada suatu kaum.
Islam adalah sebuah ideology yang memberikan energi besar bagi perubahan. Hal ini dimungkinkan karena karakter Islam yang syumul, mewarnai seluruh aspek kehidupn dan mengatur seluruh bagian manusia.
Berbicara tentang perubahan, tentunya akan memunculkan pertanyaan mengapa harus ada perubahan? Kondisi saat ini sangat jauh dari ideal. Tidak perlu kita pungkiri bahwa masyarakt (termasuk atau terutama di Indonesia) saat ini masih cukup jauh dari Islam. Contoh yang jelas tampak di permukaan adalah pada moral masyarakat, misalnya korupsi yang membudaya atau adanya pergaulan bebas. Oleh karena itu tidak salah jika ada ulama yanh mengatakan kondisi sekarang sebagai jahiliyah modern.
Melakukan perubahan adalah perintah si dalam ajaran Islam, sebagaimana dalam sebiuah hadits Rasulullah SAW menyatakan bahwa orang yang hari ini lebih baik dari kemarin adalah orang yang beruntung, orang yang hari ini sama dengan kemarin berarti rudi, dan orang yang hari ini lebih buruk dari kemarin adalah celaka. Artinya kalau kita membiarkan kondisi statis tanpa perubahan –apalagi membiarkan perubahan ke arah yang lebih buruk- berarti kita tidak termasuk orang yang beruntung. Juga di dalam Ali Imran:104 Allah memerintahkan agar ada kaum yang menyeru kepada kebaikan –sebagai sebuah perubahan.
Dengan mengetahui sedimikian hebat dan canggihnya usaha musuh-musuh Islam khususnya Yahudi di dalam memurtadkan atau minimal mensekulerkan kaum muslimin, dan hasil usaha mereka telah mencengkeram berurat berakar pada tubuh kaum muslimin, tibul pertanyaan : Apakah kondisi yang demikian parah tidak dapat dirubah? Lalu siapakah yang mampu merubah kondisi tersebut? Dan bagaimana caranya?
Sudah merupakan sunatullah bahwa pergiliran kemenangan merupakan suatu kepastian yang akan terjadi. Maka perubahan menuju kejayaan Islam dan kaum muslimin bukanlah suatu hal yang mustahil. Yang paling bertanggungjawab akan kebangkitan Islam bukanlah orang lain melainkan tentu saja umat Islam itu sendiri, khususnya para pemuda pemudi dan lebih khusus lagi para mahasiswa dan mahasiswi Islam.
Sejarah membuktikan unsur utama perubah kekalahan menjadi kemenangan adalah generasi muda. Sejak zaman para nabi hingga sekarang para pemudalah yang menjadi garda depan perubahan kondisi ummat.
Para pemuda seharusnya menyadari bahwa inilah saat yang paling tepat untuk beubah dan ikut merubah kondisi. Rasulullah bersabda: Gunakanlah lima perkara sebelum dating lima perkara yaitu :
1.Hidupmu sebelum matimu
2.Kesehatanmu sebelum sakitmu
3.Masa luangmu sebelum kesibukanmu
4.Masa mudamu sebelum masa tuamu
5.Masa kayamu sebelum masa miskinmu
Untuk perisai bagi terjaganya waktu muda maka perlu memperhatikan suatu riwayat tentang adanya pertanyaan penting di akhirat kelak khususnya kepada para pemuda yakni:
1.Umurnya, untuk apa ia habiskan?
2.Tentang masa mudanya, juga untuk apa ia manfaatkan?
3.Hartanya, darimana ia peroleh dan kemana ia infakkan (keluarkan)?
4.Ilmunya, apa yang telah ia lakukan dengan ilmunya itu?

Masa muda memang penuh tantangan yang harus digunakan untuk mencapai kedewasaan, kematangan dan kepribadian Islami yang benar-benar tangguh. Seorang pemuda yang banyak melakukan penyimpangan akhlak, pemikiran dan tugas-tugas dimana letak keindahannya? Untuk itu Ia harus memperbaiki diri bersama Islam, bersama orang-orang shaleh, yang bersama-sama meningkatkan kualitas akhlaknya, Ilmu, wawasan, amal, kekuatan fisik dan kemandirian.

Kamis, 30 Juni 2011

ASWAJA

ASWAJA PMII
Salamin-Dikalangan anak muda NU, terutama yang tergabung dalam wadah organisasi kemahasiswaan PMII, diawal tahun 1990-an mulai ramai membicarakan “Aswaja”.
Pada mulanya perbincangan baru seputar pertanyaan, mengapa aswaja menghambat perkembangan intelektual masyarakat ? diskusi terhadap doktrin ini lalu sampai kesimpulan, bahwa kemandegan berfikir ini karena kita mengadopsi mentah-mentah bahwa aswaja secara “Qod’I” (kemasan praktis pemikiran aswaja). Lalu dicobalah membongkar sisi metodologi berfikirnya (Manhaj Al-fikr): Yakni cara berfikir yang menganggap prinsip Tawasuth (moderat), Tawazun (keseimbangan), dan Ta’adul (keadilan). Setidaknya prinsip ini bisa mengantarkan pada sikap keberagaman yang non tatharruf atau ekstrim kiri dan kanan.

LATAR KULTURAL DAN POLITIK KELAHIRAN ASWAJA
Selama ini yang kita ketahui tentang ahlusunnah waljama’ah adalah madzhab yang dalam masalah aqidah mengikuti imam Abu Musa Al Asyari dan Abu Mansur Al Maturidi. Dalam praktek peribadatan mengikuti salah satu madzhab empat, dan dalam bertawasuf mengikuti imam Abu Qosim Al Junandi dan imam Abu khamid Al Gozali.
Kalau kita mempelajari Ahlussunnah dengan sebenarnya, batasan seperti itu nampak begitu simple dan sederhana, karena pengertian tersebut menciptakan definisi yang sangat eksklusif Untuk mengkaji secara mendalam, terlebih dahulu harus kita tekankan bahwa Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah madzhab, Aswaja hanyalah sebuah manhaj Al fikr (cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para sahabat dan muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapi situasi politik ketika itu. Meski demikian, bukan berarti dalam kedudukannya sebagai Manhaj Al fikr sekalipun merupakan produk yang bersih dari realitas sosio-kultural maupun sosio politik yang melingkupinya.
Ahlusunnah tidak bisa terlepas dari kultur bangsa arab “tempat islam tumbuh dan berkembang untuk pertama kali”. Seperti kita ketahui bersama, bangsa arab adalah bangsa yang terdiri dari beraneka ragam suku dan kabilah yang biasa hidup secara peduli. Dari watak alami dan karakteristik daerahnya yang sebagai besar padang pasir watak orang arab sulit bersatu dan bahkan ada titik kesatuan diantara mereka merupakan sesuatu yang hampir mustahil. Di tengah-tengah kondisi bangsa yang demikian rapuh yang sangat labil persatuan dan kebersamaannya, Rosulullah diutus membawa Islam dengan misi yang sangat menekankan ukhuwah, persamaan dan persaudaraan manusia atas dasar idiologi atau iman. Selama 23 tahun dengan segala kehebatan, kharisma, dan kebesaran yang dimilikinya, Rosulullah mampu meredam kefanatikan qobilah menjadi kefanatikan agama (ghiroh islamiyah). Jelasnya Rosulullah mampu membangun persatuan, persaudaraan, ukhuwah dan kesejajaran martabat dan fitrah manusia. Namun dasar watak alami bangsa arab yang sulit bersatu, setelah Rosulullah meninggal dan bahkan jasad beliau belum dikebumikan benih-benih perpecahan, gendrang perselisihan sudah mulai terdengar, terutama dalam menyikapi siapa figure yang tepat mengganti Rosulullah ( peristiwa bani saqifah ).
Perselisihan internal dikalangan umat Islam ini, secara sistematis dan periodik terus berlanjut pasca meninggalnya Rosulullah, yang akhirnya komoditi perpecahan menjadi sangat beragam. Ada karena masalah politik dikemas rapi seakan-akan masalah agama, dan aja juga masalah-masalah agama dijadikan legitimasi untuk mencapai ambisi politik dan kekuasaan.
Unsur-unsur perpecahan dikalangan internal umat Islam merupakan potensi yang sewaktu-waktu bisa meledak sebagai bom waktu, bukti ini semakin nampak dengan diangkatnya Usman Bin Affan sebagai kholifah pengganti Umar bin Khottob oleh tim formatur yang dibentuk oleh Umar menjelang meninggalnya beliau, yang mau tidak mau menyisahkan kekecewaan politik bagi pendukung Ali waktu itu. Fakta kelabu ini ternyata menjadi tragedy besar dalam sejarah umat Islam yaitu dengan dibunuhnya Kholifah Usman oleh putra Abu Bakar yang bernama Muhammad bin Abu Bakar. Peristiwa ini yang menjadi latar belakang terjadinya perang Jamal antara Siti Aisyah dan Sayidina Ali. Dan berikut keadaan semakin kacau balau dan situasi politik semakin tidak menentu, sehingga dikalangan internal umat Islam mulai terpecah menjadi firqoh-firqoh seperti Qodariyah, Jabbariyah Mu’tazilah dan kemudian lahirlah Ahlus sunah. Melihat rentetan latar belakang sejarah yang mengiringi lahirnya Aswaja, dapat ditarik garis kesimpulan bahwa lahirnya Aswaja tidak bisa terlepas dari latar belakang politik.


 ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Melihat dari latar cultural dan politik sejarah kelahiran Aswaja, beserta ruang lingkup yang ada di dalamnya. Terminologi Aswaja yang sebagai mana kita pegangi selama ini, sehingga tidak jarang memunculkan paradigma jumud (mandeg), kaku, dan eksklusif atau bahkan menganggap sebagai sebuah madzhab dan idiologi yang Qod’i(tetap). Bagaimana mungkin dalam satu madzhab kok mengandung beberapa madzhab, dan bagaimana mungkin dalam satu idiologi ada doktrin yang kontradiktif antara doktrin imam satu dengan imam yang lain.
Salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi, oleh karena itu Aswaja tidaklah jumud(berhenti), tidak kaku, tidak eksklusif, dan juga tidak elitis, apa lagi ekstrim. Sebaliknya Aswaja bisa berkembang dan sekaligus dimungkinkan bisa mendobrak kemapanan yang sudah kondusif. Tentunya perubahan tersebut harus tetap mengacu pada paradigma dan prinsip al-sholih wa al-ahslah. Karena itu menurut saya implementasi dari qaidah al-muhafadhoh ala qodim al-sholih wa al-akhdzu bi al jadid alashlah. Adalah menyamakan langkah sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan masa yang akan datang. Yakni pemekaran relevansi implementatif pemikiran dan gerakan kongkrit ke dalam semua sector dan bidang kehidupan baik, aqidah, syariah, akhlaq, social budaya, ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya.
Walhasil, Aswaja itu sebenarnya bukanlah madzhab. Tetapi hanyalah manhaj al-fikr atau paham saja, yang di dalamnya masih memuat beberapa aliran dan madzhab. Ini berarti masih terbuka luas bagi kita wacana pemikiran Islam yang transformatif, kreatif, dan inovatif, sehingga dapat mengakomodir nuansa perkembangan kemajuan budaya manusia. Atau selalu up to date dan tanggap terhadap tantangan jaman. Dengan demikian akan terjadi kebekuan dan kefakuman besar-besaran diantara kita kalau doktrin-doktrin eksklusif yang ada dalam Aswaja seperti yang selama ini kita dengar dan kita pahami dicerna mentah-mentah sesuai dengan kemasan praktis pemikiran aswaja, tanpa mau membongkar sisi metodologi berfikirnya, yakni kerangka berpikir yang menganggap prinsip tawassuth (moderat), tawazun (keseimbangan), ta’adul ( keadilan) dapat mengantarkan pada sikap yang mau dan mampu menghargai keberagaman yang non ekstrimitas (tatharruf) kiri ataupun kanan.


NILAI-NILAI  ASWAJA YANG TOLERAN DAN ANTI  EKSTREM?
Dalam sejarah tokoh pemikir Islam, kehadiran Abu Hasan al-Asya’ari dan Abu Manshur al-Maturidi, melalui pemikiran-pemikiran teologis kedua orang ini berhasil mempengaruhi pikiran banyak orang dan mengubah kecenderungan dari berpikir rasionalis ala Mu’tazilah kepada berpikir tradisionalis dengan berpegang pada sunnah Nabi. Asawaja dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya seperti tawassuth, tawazun tasamuh mampu tampil sebagai sebuah ajaran yang berkarakter lentur, moderat, dan fleksibel. Dari sikap yang lentur dan fleksibel tersebut barang kali yang bisa mengantarkan paham ini diterima oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.